Makalah: Hubungan Pendidikan Dan Kekuasaan Pada Masa Penjajahan Dan Kemerdekaan
Kamis, Oktober 20, 2016
Add Comment
Hubungan Pendidikan Dan Kekuasaan Pada Masa
Penjajahan Dan Kemerdekaan
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Dewasa ini pendidikan di negara-negara berkembang mengalami
revolusi. Bukan hanya pendidikan merupakan kewajiban dari pemerintah yang
diakui sebagai salah satu hak asasi manusia tetapi telah merupakan suatu
tuntutan dari setiap negara modern. Kewajiban belajar telah merupakan suatu
keputusan bersama umat manusia (education
for all) dan tuntutan tersebut bukan hanya merupakan tuntutan formal,
tetapi juga tuntutan perubahan yang radikal dari isi dan proses dalam
lembaga-lembaga pendidikan formal tersebut.
Terdapat kaitan yang erat antara kekuasaan dan pendidikan.
Kekuasaan mempunyai tempat dalam ruang dan proses pendidikan. Justru karena
adanya kekuasaan itulah terjadi proses pendidikan. Proses pendidikan yang
sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan peserta didik suatu
kesadaran akan kemampuan kemandirian.[1]
B.Rumusan Masalah
1.Apa alasan pertama Belanda datang ke Indonesia?. Serta bagaimana
cara Belanda dalam mengembangkan
pendidikan dan sekolah- sekolah di Indonesia?
2.Bagaimana pendidikan pada masa Orla, Orba dan masa Reformasi ?
3.Apa hubungan kekuasaan dengan Pendidikan.
C.Tujuan
1.Agar mengetahui alasan kedatangan Belanda di Indonesia , dan cara
Belanda untuk mengembangkan pendidikan dan sekolah-sekolah di Indonesia.
2.Agar mengetahui Pendidikan di masa Orla, Orba dan Masa Reformasi.
3.Untuk mengetahui hubungan antara kekuasaan dengan Pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pendidikan
pada Masa Penjajahan
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam
2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie)
dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). pada masa VOC, yang
merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia
dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.
1.Masa VOC
Orang belanda datang ke indonesia bukan untuk menjajah melainkan
untuk berdagang. Mereka di motifasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya, sekalipun harus mengarungi laut yang berbahaya sejauh ribuan
kilometer dalam kapal layar kecil untuk mengambil rempah-rempah dari indonesia.
Namun pedagang itu merasa perlunya memiliki tempat yang permanen di daratan dari
pada berdagang dari kapal yang berlabuh di laut. Kantor dagang itu kemudian
mereka perkuat dan persenjatai dan menjadi benteng yang akhirnya menjadi
landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu
beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan teritorial. Setelah
peperangan kolonial yang banyak akhirnya indonesia jatuh seluruhnya di bawah
pemerintahan Belanda. Namun penguasaan daerah jajahan ini baru selesai pada
permulaan abad ke 20.
Metode kolonialisasi belanda sangat sederhana. Mereka
mempertahankan raja-raja yang berkuasa dan menjalankan pemerintahan melalui
raja-raja itu akan tetapi menuntut monopoli hak berdagang dan eksploitasi
sumber-sumber alam. Adat istiadat dan kebudayaan asli dibiarkan tanpa perubahan
aristokrasi tradisional digunakan oleh belanda untuk memerintah negri ini
dengan cara efisien dan murah. Oleh sebab Belanda tidak mencampuri kehidupan
orang Indonesia secara langsung, maka sangat sedikit yang mereka perbuat untuk
pendidikan bangsa. Kecuali usaha menyebarkan agama mereka di beberapa pulau di
bagian timur Indonesia. Kegian pendidikan pertama yang dilakukan VOC.
Pada permulaan abad ke 16 hampir se abad sebelum kedatangan
belanda, pedagang portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah
itu di hasilkan. Biasanya mereka didampingi oleh misionaris yang memasukkan
penduduk kedalam agama katolik yang paling berhasil tiantara mereka adalah Ordo
Jesuit di bawah pimpinan Feranciscus Xaverius. Xaverius memandang pendidikan
sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama. Seminari dibuka di Ternate,
kemudian di Solor dan Pendidikan Agama yang lebih tinggi dapat diperoleh di
Goa, India, pusat kekuasaan Portugis saat itu. Bahasa Portugis hampir sama
populernya dengan bahasa Melayu, kedudukan yang tak kunjung di capai oleh
bahasa Belanda dalam waktu 350 tahun penjajahan kekuasaan Portugis melemah
akibat peperangan denngan raja-raja Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh Belanda
pada tahun 1605.
2.Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Setelah VOC dibubarkan, para Gubernur/komisaris jendral harus
memulai sistem pendidikan dari dasarnya, karena pendidikan zaman VOC berakhir
dengan kegagalan total. Pemerintahan baru yang diresapi oleh ide-ide liberal
aliran aufklarung atau Enlightenment
(pencerahan) menaruh kepercayaan akan pendidikan sebagai alat untuk mencapai
kemajuan ekonomi dan sosial.
Setelah ambruknya VOC tahun 1816 pemerintah Belanda menggantikan
kedudukan VOC. Status Hindia Belanda tahun 1801 dengan terang-terangan
menyatakan bahwa tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang
sebesar-besarnya kepada perdagangan dan kepada kekayaan negeri Belanda.
Secara formil, pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa
sekolah di Jawa sejak kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di
Jatinegara, sekolah pelayaran (1808) di Semarang, sekolah bidan (1809) di
Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di Cirebon. Daendels ini juga dikenal
sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para Bupati agar mengusahakan
pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi. Janssens yang
menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di bidang
pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik
dari kerajaan Inggris. Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di
bawah Raffles. Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian
besar kepada dunia pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong
sangat berminat melakukan eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan
karya-karya intelektual yang cukup monumental, antara lain: History of Java
karya Raffles, sejarah Sumatera, kamus Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang
merupakan karya-karya Marsden, Java Government Gazette yang memuat ilmu
pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani oleh Horsfield,
dan juga kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-karya
tersebut memberi kontribusi signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus
menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di Indonesia.
Masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi titik tolak
baru bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia.
Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna
menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van
den Bosch (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat
pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap
karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi
kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi prinsip netral sikap pemerintah
dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Raja,
diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan
sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda
untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang
sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang
memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan.
Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga
telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian
sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung
hampir satu dekade (1883-1892).
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya
menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana
berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur
Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun
1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie,
Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang
diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah:
a).Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin
bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan.
b).Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan
mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi
sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari
penguasa kolonial.
Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi
kedalam 4 (empat) golongan:
a).Golongan Eropa
b).Golongan yang dipersamakan dengan Eropa
c).Golongan Bumiputera
d).Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera.
Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut
ini:
a).Golongan Eropa
b).Golongan Bumiputera
c).Golongan Timur Asing
Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (bumiputera), secara
sosial terstratifikasi sebagai berikut:
a).Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat
b).Pemimpin agama (Ulama)
c).Rakyat biasa.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan
Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut:
a).Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa
Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS),
dan sekolah peralihan
b).Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS,
AMS) dan pendidikan kejuruan.
Politik pendidikan kolonial erat hubungannya dengan politik mereka
pada umumnya, suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak
didorong oleh nilai-nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik
dan kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat
sejumlah ciri politik dan prakti pendidikan tertentu.
Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam ciri umum politik
pendidikan Belanda, yaitu:
a.Dualisme
Dualisme dalam pendidikan dengan adanya sekolah untuk anak Belanda
dan untuk yang tak berada, sekolah yang memberi kesempatan melanjutkan dan
tidak memeberi kesempatan.
b.Gradualisme
Gradualisme dengan mengusahakan pendidikan rendah yang sederhana
mungkin bagi anak Indonesia dan memperlambat lahirnya sekolah untuk anak
Indonesia.
c.Prinsip Konkordansi
Prinsip yang memaksa semua sekolah berorientasi barat mengikuti
model sekolah Nederland dan menghalangi penyesuaiannya dengan keadaan
Indonesia.
d.Control sentral yang kuat
Yang menciptakan birokrasi yang ketat yang hanya memungkinkan
perubahan kurikulum dengan persetujuan para pembesar di Indonesia maupun di
negeri Belanda.
e.Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis
Menyebabkan pemerintah mengadakan percobaan dengan berbagai macam
sekolah menurut keadaan zaman.
f.Pendidikan pegawai sebagai tujuan utama sekolah.
g.Penyelenggaraan dan penerimaan murid didasarkan atas kebutuhan
pemerintah Belanda dalam tenaga kerja.
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar
kebijakannya di bidang pendidikan antara lain:
a.Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu;
b.Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik
kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan
kolonial;
c.Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial,
khususnya yang ada di Jawa.
Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit
masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan
ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah
memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan
kolonial di Indonesia.
B.Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan
1.Masa Orde Lama
Tidak jauh berbeda setelah masa kemerdekaan, pendidikan di masa
pascakolonial melahirkan beberapa hal diantaranya:
1).Terdapat banyak sikap hidup yang bisu dan kelu. Kebudayaan bisu
dan budaya pedagogi yang hanya mengandalkan memori otak sehingga menjadikan
sekolah hanya sebagai tempat untuk mendengarkan guru ceramah tanpa siswa
diberikan kesempatan untuk berpikir kritis. Pada saat ini siswa tidak memiliki
pilihan untuk tidak mengikuti metode ceramah ini, karena guru diposisikan
sebagai subjek sentral yang harus dihormati oleh murid.
2).Penduduk dipinggiran kota (di kampung-kampung kumuh) ternyata
belum mampu berkembang dan belum dapat diikutsertakan dalam proses pendidikan.
3).Model sekolah yang mengikuti model barat ternyata belum hilang bekas-bekas
pengaruhnya dalam mengalami kegagalan.
4).Di sekolah-sekolah, bahasa ibu (bahasa daerah asli)
didiskualifikasi secara sistematis, diganti dengan bahasa intelektual dan
artifisial penguasa di bidang politik.
5).Kaum elit dan intelektual yang mendapatkan pendidikan dari luar
negeri ternyata tidak akrab dengan masyarakat pribumi.
Oleh karena itu, secara garis besar pendidikan di awal kemerdekaan
diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati sistem pendidikan di
negara-negara maju, khususnya dalam mengejar keserbaterbelakangan di berbagai
sektor kehidupan.
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca
kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas
terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan
dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan
kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme
dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok
masyarakat tanpa memandang kelas sosial. Pada masa ini Indonesia mampu
mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak generasi muda yang disekolahkan
di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak dapat kembali ke tanah air untuk
mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada halangan ekonomis yang
merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena diskriminasi dianggap
sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah merupakan suatu era di mana
setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain, serta setiap orang
memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.
Orde lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang
berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga
negara, termasuk dalam bidang pendidikan. Sesungguhnya, inilah amanat UUD 1945
yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Banyak pemikir-pemikir yang lahir pada masa itu, sebab ruang
kebebasan betul-betul dibuka dan tidak ada yang mendikte peserta didik. Tidak
ada nuansa kepentingan politik sektoral tertentu untuk menjadikan pendidikan
sebagai alat negara maupun kaum dominan pemerintah. Seokarno pernah berkata:
“…sungguh alangkah hebatnya kalau tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu
satu persatu adalah Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa
kebangunan dapat ‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak,”
Dari perkataan Soekarno itu sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde
lama menaruh perhatian serius yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya
melalui pendidikan.
Di bawah menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan
pendidikan dengan sistem “among” berdasarkan asas-asas kemerdekaan, kodrat
alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanuasiaan yang dikenal sebagai “Panca
Dharma Taman Siswa” dan semboyan “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun
karso, tut wuri handayani” pada 1950 diundangkan pertama kali peraturan
pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang kemudian disempurnakan (jo)
menjadi UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah. Pada 1961 diundangkan UU No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi,
dilanjutkan dengan UU No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional, dan UU
No. 19/19`65 tentang Pokok-Pokok Sitem Pendidikan Nasional Pancasila. Pada masa
akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90 % bangsa Indonesia berpendidikan SD.
2.Masa Orde Baru
Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat
dikatakan sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan
pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat
signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Namun,
yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi
kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting pada
masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa
memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan.
Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak
menemukan kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman”
sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi
seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga
diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk
melanggengkan status quo penguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat
dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri.
Pada pendidikan orde baru kesetaran dalam pendidikan tidak dapat
diciptakan karena unsur dominatif dan submisif masih sangat kental dalam pola
pendidikan orde baru. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban materi
pelajaran yang banyak dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi
kepentingan dengan faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka
terhadap lingkungan. Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini
adalah:
1).Produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja.
Sehingga, berimplikasi pada hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal
pikirannya (tidak memanusiakan manusia).
2).Lahirnya kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan
banyaknya anak muda yang berpikiran positivistik
3).Hilangnya kebebasan berpendapat.
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan moto
“membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”. Pada
tahun 1969-1970 diadakan Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) dan
menemukan empat masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia: pemerataan, mutu,
relevansi, dan efisiensi pendidikan. Dan hasilnya digunakan untuk membentuk
Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K). Pada masa
orde baru dibentuk BP-7 yang menjadi pusat pengarus utamaan (mainstreaming)
pancasila dan UUD 1945 dengan produknya mata ajar Pendidikan Moral Pancasila
(PMP) dan penataran P-4. Ditahun 1980 mulai timbul masalah pendidikan di
Indonesia. Salah satunya adalah “pengangguran terdidik”. Depdiknas di bawah
Menteri Wardiman Djojohadiningrat (kabinet pembangunan VI) mengedepankan wacana
pendidikan “link and match” sebagai upaya untuk memperbaiki pendidikan
Indonesia pada masa itu.
3.Masa Reformasi
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi
perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan
revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk
pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi
desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan belanja negara.
Dengan didasarkan oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah, yang diperkuat dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
pusat dan daerah, maka pendidikan digiring pada pengembangan lokalitas, di mana
keberagaman sangat diperhatikan. Masyarakat dapat berperan aktif dalam
pelaksanaan satuan pendidikan.
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan
Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor
pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model
“Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber
daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis
Kompetensi”.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989., dan sejak saat itu
pendidikan dipahami sebagai: “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”
Mendiknas kabinet bersatu Bambang Sudibyo memperkenalkan beberapa
inovasi penting bagi daerah yang berhasil melaksanakan pembangunan pendidikan,
mengelola pengadaan buku untuk sekolah, dan mengembangkan wajib belajar 9
tahun, menetapkan guru sebagai profesi agar bisa sejajar dengan profesi
terhormat lainnya.
Tak ada gading yang tak retak, pendidikan di masa reformasi juga
belum sepenuhnya dikatakan berhasil. Karena, pemerintah belum memberikan
kebebasan sepenuhnya untuk mendesain pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan lokal, misalnya penentuan kelulusan siswa masih diatur dan
ditentukan oleh pemerintah. Walaupun telah ada aturan yang mengatur posisi
siswa sebagai subjek yang setara dengan guru, namun dalam pengaplikasiannya,
guru masih menjadi pihak yang dominan dan mendominasi siswanya, sehingga dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan proses pendidikan Indonesia masih jauh dari
dikatakan untuk memperjuangkan hak-hak siswa.[2]
B.HUBUNGAN KEKUASAAN DAN PENDIDIKAN
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem
sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara
berkembang.Keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi.
Lembaga- lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk
perilaku politik masyarakat di negara tersebut, begitupun sebaliknnya. Hubungan
erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara ialah realitas
empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradapan manusia menjadi
perhatian para ilmuan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah
satu konstitusi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan
madrasah-madrasah dalam mengkokohkan kekuasaan politik para penguasa dapat
dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan kepada ulurang tangan para
penguasa secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan
nuansa politik yang berlaku (Rasyid, 1994: 6)
Kedudukan politik didalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan.
Tanpa otoriras politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakan.
Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam. Pendidikan bergerak
dalam usaha menyadarkan umat untuk menjalankan syariat. Umat tidak akan
mengerti syariat tanpa pendidikan. Bila politik (kekuasaan) berfungsi mengayomi
dari atas, maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah (Rasyid,1994:
15).
Kutipan di atas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan
pendidikan di dalam Islam tampak demikian erat. Perkembangan kegiatan-kegiatan
kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan
dukungan institusi-intstitusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan
kekuasaan mereka.[3]
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
1.Alasan orang Belanda mendirikan sekolah bagi anak-anak Indonesia
yaitu untuk mendidik anak Belanda dan Jawa agar menjadi pekerja yang kompeten
pada VOC. Dan pada saat itu belum terdapat pengajaran klasik. Mengajar
berdasarkan pengajaran individual. Murid-murid datang seorang demi seorang ke
meja guru dan menerima bantuan individual. Bahasa yang dipergunakan adalah
bahasa melayu dan portugis, karena bahasa belanda masih dirasakan sulit.
2.Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda,
secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada
golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) sosial yang ada dan
menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu, diantaranya:
a.Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
b.Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah
c.Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )
d.Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)
3.Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam ciri umum politik
pendidikan Belanda, yaitu: 1) dualisme, 2) gradualisme, 3) prinsip konkordansi,
4) kontrol sentral yang kuat, 5) tidak adanya perencanaan pendidikan yang
sistematis, 6) pendidikan pegawai sebagai tujuan utama sekolah.
4.Pada masa orde lama diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam
pendidikan yang bertujuan untuk melanggengkanstatus quo penguasa.
5.Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi
perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan
revolusioner, dimana bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik
(orde lama) menjadi desentralistik.
DAFTAR PUSTAKA
http://isomfuadifikri.blogspot.com/2012/07/hubungan-pendidikan-dan-kekuasaan-pada.html
. Diaskes pada tanggal 28 September 2013.
Sirozi, Muhammad, 2005, Politik
Pendidikan, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Tilaar, 2009, Kekuasaan dan Pendidikan , Jakarta : PT
Rineka Cipta.
Tilaar, 2002, Perubahan Sosial dan Pendidikan,
Jakarta : Gramedia.
[1]Tilaar,
kekuasaan dan pendidikan , (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2009), 141
[2]http://isomfuadifikri.blogspot.com/2012/07/hubungan-pendidikan-dan-kekuasaan-pada.html
. Diaskes pada tanggal 28 September
2013.
[3]Sirozi, Muhammad, 2005, Politik Pendidikan, (Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2005), 1.
0 Response to "Makalah: Hubungan Pendidikan Dan Kekuasaan Pada Masa Penjajahan Dan Kemerdekaan"
Posting Komentar