Makalah: Muzara'ah
Senin, November 14, 2016
Add Comment
Muzara`ah
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Bekerja adalah suatu kewajiban bagi manusia. Banyak
sekali bidang-bidang pekerjaan yang ada pada saat ini, salah satunya adalah dalam
bidang pertanian. Pertanian pada umumnya dilakukan oleh masyarakat pedesaan,
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Diantara mereka ada yang memiliki lahan sendiri
untuk digarap yang mempunyai luas yang bevariasi, ada pula yang tidak memiliki lahan
sendiri melainkan bekerja menggarap lahan milik orang lain dan mendapatkan upah.
Selain itu, ada juga seorang yang memiliki lahan dan tidak dapat menggarapnya sehingga
penggarapannya diwakili oleh orang yang mendapat sebagian hasilnya.
Dari berbagai permasalahan diatas dapat kita peroleh
kesimpulan bahwasannya hidup itu saling membutuhkan satu sama lainnya. Islam
mempunyai solusi agar manusia dapat saling membantu dalam bidang pertanian,
salah satunya dengan memakai system nuzara`ah, yaitu kerjasama antara pemilik
sawah/lading dengan petani penggarap dengan system bagi hasil menurut perjanjian,
dimana benih tanamannya disiapkan oleh penggarap. Sehingga dalam makalah ini akan
dibahas lebih lanjut tentang pengertian dan dasar hokum muzara`ah, status hukum
Muzara`ah, rukun dan syarat muzara`ah, serta
hikmah muzara`ah.
B.Rumusan Masalah
1.Apakah Pengertian
dan Dasar Hukum Muzara`ah?
2.Apakah
Status Hukum Muzara`ah?
3.Apakah Rukun
dan Syarat Muzara`ah?
4.Kapankah
Muzara`ah bias dikatakan habis?
5.Apakah Hikmah
Muzara`ah?
C.Tujuan
1.Agar
Mahasiswa/i mengetahui pengertian dan dasar hokum muzara`ah
2.Agar
mahasiswa/i mampu memahami status hokum muzara`ah
3.Agar
mahasiswa/i mengetahui rukun dan syarat muzara`ah
4.Agar
mahasiswa/i megetahui kapan muzara`ah dikatakan habis
5.Agar
mahasiswa/i mampu memahami hikmah muzara`ah
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
dan Hukum Muzara`ah
1.Pengertian
a.Bahasa
Secara etimologi muzara`ah (المُزَارَعَةُ) adalah wazan مُفَاعَلَةٌ dari kata اَلزَّرْعُ yang sama artinya dengan الإِنْبَاتُ (menumbuhkan).[1]
b.Istilah
Secara terminology muzara`ah adalah kerjasama antara
pemilik sawah/ladang dengan petani penggarap dengan system bagi hasil menurut perjanjian,
dimana benih tanamannya disiapkan oleh penggarap. .
Pendapat ulama’
a).Ulama’ Malikiyah
berpendapat bahwa muzara’ah adalah bersekutu dalam akad.[2]
b).Ulama’
Hambaliyah
د
َفْعُ الْاَرْ ضِ اِلَى مَنْ يَزْ رَعَهَا
اَؤْ يَعْمَلُ عَلَيْهَا ؤَالزَّرْعُ بَيْنَهُمَا
“menyerahkan
tanah orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman (hasilnya) tesebut dibagi diantara keduanya.”
c).Ulama’ Syafi’iyah
اَ
لْمُخَا بَرَ ةُ هِيَ عَمَلَ اْلاَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَخْرُ جُ مِنْهَا ؤَاْلبَذْ
رُ مِنَ الْعَا مِلِ . ؤَالْمُزَ ا رَعَةُ هِيَ الْمُخَا بَرَ ةُ وَلَكِنَّ الْبَذْرَ
فِيْهَا يَكُؤْ نُ مِنَ الْمَا لِكِ.
“Mukhabarah
adalah pengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkanya dan benihnya berasal dari
pengelola.”
Adapun muzara’ah
sama seperti mukhabarah hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.”[3]
d).Syaikh
Ibrahim al-Bajury
Berpendapat bahwa Muzara`ah
adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan
modal dari pemilik tanah.[4]
2.Dasar Hukum Muzara`ah
Dasar hukum diperbolehkannya
kerja sama dalam bentuk muzara`ah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari
مَنْ
كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْ لِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ
اَرْضَهُ. رواه البخارى
“Barang siapa
yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya,
jika ia tidak mau, boleh ditahan saja tanah
itu.” (H.R. al-Bukhari dari Abu Hurairah: 2172)[5]
Sebagian
ulama’ melarang muzara’ah, mereka beralasan dengan beberapa hadis yang melarang
muzara’ah. Hadist tersebut terdapat dalam kitab hadist Bukhari dan Muslim,
diantaranya:
Sabda
Rasulullah SAW.
عَنْ
رَافِع بن خَدِيْج قَالَ كُنَّاأَكْثَرَالْاَنْصَارِحَقْلاً فكُنَّا نُكْرِي الْاَرْضَ
عَلَى أَنَّ لَنَا هَذِهِ وَلَهُمْ هَذِهِ فَرُبَّمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ
هَذِهِ فَنَهَا نَاعَنْ ذَلِكَ. رواه البخارى
Berkata
Rafi’ Bin Khadij: "Diantara
Anshar yang banyak mempunyai tanah adalah kami maka kami persewakan sebagian tanah
untuk kami dan sebagian dari mereka yang mempekerjakannya, terkadang-kadang sebagian
tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, oleh karenanya Rasulullah
Saw. Melarang muzara’ah dengan cara demikian.”(Riwayat Bukhari).
Ulama’
yang lain berpendapat diperbolehkan, pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir
dan Khattabi, mereka mengambil alasan dengan hadis Ibnu `Umar.
Sabda
Rasulullah Saw. :
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ أنَّ النِبي صلى الله عليه وسلم عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَبِشَرْطِ مَايَخْرُجُ
مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ. رواه مسلم
Dari
Ibnu ‘Umar: “Sesungguhnya Nabi besar Saw. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk
Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian
dari penghasilan, baik dari buah-buahan atau hasil pertahunan (Palawija).”
(Riwayat Muslim).[6]
B.Status
Hukum
1.Hukum
muzara`ah shahih menurut hanafiyah
Menurut ulama` Hanafiyah, hokum muzara`ah yang
shahih adalah sebagai berikut:
a.Segala keperluan
untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap
b.Pembiayaan atas
tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah
c.Hasil yang
diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad
d.Menyiram atau
menjaga tanaman, jika disyaratkan akan dilakukan bersama hal itu harus dipenuhi.
Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan, penggaraplah yang paling bertanggung jawab
menyiram atau menjaga tanaman
e.Diperbolehkan
menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan
f.Jika salah seorang
yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa
sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.
2.Hukum
muzara`ah fasid menurut Hanafiyah
Diantara hukum-hukum yang terdapat dalam muzara`ah fasid
adalah:
a.Penggarap tidak
berkewajiban mengelola
b.Hasil yang
keluar merupakan pemilik benih
c.Jika dari pemilik
tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya.[7]
C.Rukun dan
Syarat Muzara`ah
1.Rukun Muzara`ah
a.Ulama` Hanafiyah
1).Tanah
2).Perbuatan
pekerja
3).Modal
4).Alat-alat
menanam
b.Ulama` Hanbaliyah
1).Ijab
2).Qabul
Keduanya boleh dilakukan dengan lafal apa saja
yang menunjukkan adanya ijab
dan qabul.[8]
2.Syarat Muzara`ah
1.Kedua
orang yang melakukan akad (aqidain) harus berakal
2.Tanaman
a).Harus ada
penentuan macam apa saja yang ditanam
b).Perolehan
hasil tanaman
c).Harus menyebutkan
jumlah bagian masing-masing (presentasinya ketika akad)
3.Hasil adalah
milik bersama
4.Bagian dari`amil
dan malik adalah dari satu jenis barang yang sama
5.Bagian kedua
belah pihak sudah dapat diketahui
6.Tidak disyaratkan
bagi salah satunya penambahan
7.Tanah
yang akan ditanami dan diketahui batas-batasnya
8.Waktu,
syaratnya:
9.Waktunya
telah ditetapkan
10.Waktu tersebut
memungkinkan untuk menanam tanaman
11.Waktu tersebut
memungkinkan kedua belah pihak masih hidup menurut .kebiasaan.
12.Alat muzara`ah
disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya disebabkan kepada pemilik tanah.[9]
D.Penghabisan
Muzara`ah
Beberapa hal yang menyebabkan muzara`ah habis,
yaitu:
1.Habis masa
muzara`ah
2.Salah
seorang yang melakukan akad meninggal
3.Adanya udzur.
Menurut ulama` Hanafiyah diantara udzur yang
menyebabkan batalnya muzara`ah antara lain:
1.Tanah
garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar hutang
2.Penggarap
tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad dijalan Allah Swt. Dan lain-lain.[10]
E.Hikmah Muzara`ah
Keridlaan Allah swt. Dalam bekerja adalah sangat
penting. Demikian juga keikhlasan dalam bekerja. Akad muzara`ah memeberi pelajaran
kepada semua manusia bahwa betapa penting bumi dan tanah serta benih-benih yang
tumbuh diatas bumi itu diperuntukkan bagi kepentingan umat manusia. Seandainya
saja, Allah swt menjadikan tanah itu tidak subur maka semua benih yang disemai di
atas tanah tersebut akan gagal. Manusia diajarkan untuk selalu mencari ilmu sebanyak-banyaknya
supaya dapat memanfaatkan bumi Allah swt ini dengan hasil guna yang bermanfaat bagi
kehidupan umat manusia.
Ketentuan syarat dan rukun dalam akad muzara`ah
memeberikan rambu-rambu agar manusia dalam
bekerja saling menguntungkan dan tidak saling merugikan. Selain itu, muzara`ah dapat
meringankan beban orang lain dan juga menanggulangi kemiskinan.[11]
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
1.Pengertian
Muzara`ah secara bahasa yaitu wazan مُفَاعَلَةٌ dari kata اَلزَّرْعُ yang sama artinya dengan الإِنْبَاتُ (menumbuhkan).
Sedangkan secara istilah yaitu kerjasama antara pemilik sawah/ladang dengan
petani penggarap dengan system bagi hasil menurut perjanjian, dimana benih
tanamannya disiapkan oleh penggarap.
Dasar hukum diperbolehkannya kerja sama dalam
bentuk muzara`ah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
مَنْ
كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْ لِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى
فَلْيُمْسِكْ اَرْضَهُ. رواه البخارى
“Barang siapa yang memiliki tanah maka
hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, boleh ditahan saja tanah itu.”
(H.R. al-Bukhari dari Abu Hurairah: 2172)
2.Status
hukum muzara`ah menurut `ulama Hanafiyyah ada 2, yakni muzara`ah shahih dan
fasid.
3.Rukun muzara`ah
terdapat perbedaan pendapat, yaitu menurut ulama` Hanafiyah dan menurut ulama`
Hanbaliyah. Sedangkan syarat muzara`ah meliputi aqidain, tanaman, perolehan
hasil tanaman, tanah yang ditanami dan waktu pelaksanaan, dan alat muzara`ah.
4.Penghabisan
muzara`ah yaitu habisnya masa muzara`ah, salah satu yang melakukan akad
meninggal, dan adanya udzur.
5.Hikmah
muzara`ah yaitu menumbuhkan kesadaran manusia untuk memelihara bumi dan tanah
serta benih-benih yang tumbuh diperuntukkan untuk kepentingan manusia,
memberikan rambu-rambu agar manusia dalam bekerja saling menguntungkan dan
tidak saling merugikan, dapat meringankan beban orang lain serta
tertanggulanginya kemiskinan.
DAFTAR
PUSTAKA
Syafei,
Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia.
Qosim,
M. Rizal. 2009. Pengamalan Fikih. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Rasjid,
Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyyah
[1]H.
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, 2001, hlm. 205
[2]M.
Rizal Qosim, Pengamalan Fikih, 2009, hlm. 109
[3]H.
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, 2001, hlm. 206
[4]M.
Rizal Qosim, Pengamalan Fikih, 2009, hlm. 109
[5]M.
Rizal Qosim, Pengamalan Fikih, 2009, hlm. 110
[6]H.
Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam, hlm. 289-290
[7]H.
Rachmat Syafei,Fiqih Muamalah, 2001, hlm. 210-211
[8]M.
Rizal Qosim, Pengamalan Fikih, 2009, hlm. 110
[9]Ibid.,
hlm 110
[10]H.
RachmatSyafei, FiqihMuamalah, 2001, hlm. 211
0 Response to "Makalah: Muzara'ah"
Posting Komentar